"Ada Apa Dengan Cinta dan Yuyun?"


Cinta dan Yuyun adalah dua karakter berbeda dalam isu viral akhir-akhir ini. Cinta adalah karakter tokoh dalam sebuah film yang laris manis di jagad hiburan, sementara Yuyun adalah seorang gadis belia berusia 14 tahun yang mengalami pelecehan seksual kelas berat oleh 14 pemuda, dan harus meregang nyawa akibat pelecehan tersebut. Miris memang, di saat euforia masyarakat memuncak akan film tersebut dan ramai-ramai menanti serta menontonnya, kasus Yuyun kemudian terkuak di Media.
Cinta adalah karakter seorang perempuan yang terlalu halus perasaannya yang rela menunggu kekasihnya selama 14 tahun demi perasaannya kepada lelakinya (lawan main Cinta dalam film tersebut). Wajar mungkin sebagai dua insan yang sedang kasmaran untuk saling menanti. Namun yang memiriskan adalah dengan alasan romantisme cinta dan totalitas peran maka scene tak pantas pun absah diperankan dalam film ini. Bukan menjadi rahasia umum lagi, film-film bergenre seperti ini, tak lagi menjadi hal yang tabu dalam masyarakat kita. Atas nama romantisme, atas nama kebebasan, atas nama seni dalam peran dan profesionalitas, katanya hal itu sah-sah saja dilakukan. Lalu, saking euforistisnya di media, para remaja dan pemuda pun dapat dengan mudah mengaksesnya karna penasaran dengan film tersebut. Apalagi film ini diputar di bioskop-bioskop yang ada di kota-kota besar. Maka tak heran, remaja belasan tahun pun ikut mengantri untuk menyaksikan film yang katanya fenomenal tersebut. Belum lagi, biasanya setelah filmnya dirilis, tak lama kemudian film tersebut sudah bisa didapatkan dari kolega atau teman-teman sekolah.
Lalu apa jadinya jika remaja yang seharusnya tak boleh menyaksikan adegan-adegan seperti ini dibiasakan terus-menerus mengkonsumsi hal serupa yang ujung-ujungnya dapat memantik jinsi (naluri melestarikan keturunan)? lihatlah apa yang terjadi dengan remaja kita sekarang. Dilansir dari situs republika.co.id, dalam catatan KPAI sebanyak 45 juta orang menjadi pelanggan situs pornografi hingga 2014. Bahkan data hasil survei KPAI pada 2011-2014 mencatat dari 4.376 sampel yang diambil dari pelajar baik tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) menemukan sebanyak 93,7 persen pelajar SMP/SMA pernah melihat tayangan pornografi. Walhasil sebanyak 26 persen pelajar SMP/SMA melakukan tindakan kriminal dan kejahatan seksual setelah menonton film atau konten pornografi.
Kejadian naas yang menimpa Yuyun sangatlah disayangkan. Bagaimana tidak, mayoritas pelakunya berusia belasan tahun. Semua kalangan mengutuk tindakan keji tersebut baik dari kalangan masyarakat, mahasiswa, artis hingga pemerintah. Semua berharap pelaku mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Jika melihat sebab dari kasus tersebut, miras dan tayangan video porno adalah biang keroknya. Kasus-kasus yang penyebabnya dikarenakan miras telah menjadi hal yang berulang. Semua tahu, miras adalah pangkal kriminalitas. Namun, menjadi sebuah hal yang mengherankan, regulasi yang dikeluarkan pemerintah justru tak sejalan dengan harapan masyarakat maupun pemerintah itu sendiri. Miras legal diperbolehkan, sedangkan miras illegal dilarang. Mirisnya, dasar dari kebijakan ini adalah demi sumber pemasukan Negara. Sebab kedua adalah video porno, beberapa pelaku mengaku di hadapan polisi bahwa mereka hobby nonton film porno baik di DVD maupun HP. Sebab-sebab inilah yang mengakibatkan pelecehan itu terjadi. Kalau sudah begini, tentu kita tak mau kejadian-kejadian seperti ini berulang. Lalu dimana seharusnya peran kita dan peran pemerintah agar kasus sperti ini tidak terjadi lagi? Mengutuk keras saja tidak cukup, harus dibuktikan dengan tindakan dan regulasi yang membuat jera pelaku dan menyelamatkan perempuan-perempuan lainnya dari tindak kejahatan pelaku seksual seperti ini.
Kalau pemerintah ingin perempuan dan generasi selamat dari bencana ini, tentu kebijakan yang tepat harus dipikirkan. Jangan sampai kebijakan yang diambil malah salah sasaran. Misalnya kasus miras di atas. Harusnya, miras dimusnahkan saja, baik legal maupun illegal. Bukankah pemasukan Negara tidak hanya berasal dari pajak miras? Sayang, pemasukan besar Negara yang sangat strategis dinikmati oleh kapitalis lokal maupun asing. Negara hanya menikmati ampasnya.
Di dunia pendidikan misalnya, birokrasi mencanangkan pendidikan berkarakter, tetapi tayangan media yang tidak mendidik dibiarkan menghiasi layar kaca, internet bebas diakses, film-film bergenre dewasa diberikan izin tersebar luas. Walhasil, lihatlah realitas, kejadian-kejadian miris terus saja terjadi dari hari ke hari. Sebaliknya dalam Islam, hal-hal yang berbau jinsi (naluri seksualitas) tidak boleh dipamerkan di ruang publik, karna pada dasarnya hal itu harus ditempatkan di wilayah khas (khusus) di dalam rumah saja. Sehingga potensi akses ke arah itu berkurang bahkan tidak ada.
Kita harus berbenah dari kasus Yuyun. Sebagai bagian dari masyarakat, peran kita adalah sebagai kontrol sosial. Hidupkan kembali peran itu, jika melihat orang menjajakan miras, maka laporkan ke polisi, jika melihat anak-anak berdua-duaan yang bukan mahram, maka tegurlah bila perlu lapor kepada orang tuanya. Tentu, semua ini akan berjalan dengan semestinya jika didukung oleh kebijakan pemerintah. Lebih jauh, pangkal dari semua ini adalah prinsip liberalisme (kebebasan) yang diamini oleh bangsa ini. Bukankah kita hidup harus punya aturan? Lebih baik lagi jika aturan yang kita ambil itu adalah aturan yag tepat berasal dari Allah yang menciptakan kita. Aturan manusia tak akan pernah bisa lebih baik dari aturan Tuhan kita. Kembalilah pada Islam, agar Yuyun-Yuyun yang lain tidak mengalami hal serupa lagi. Daripada hanya fokus menunggu film-film bertemakan cinta yang tidak mendidik, lebih baik kita fokus memperbaiki moral generasi, memperbaiki regulasi dan bila perlu harus mengubah system yang telah lama menjadi biang kerok permasalahan negeri ini.
-AR-
====================================
‪#‎OpiniKita‬ ‪#‎OpiniIslam‬ ‪#‎RedCampusCyberTroops‬
====================================
Ikuti kami juga di:
Join Telegram: telegram.me/opinikita
ID Line: @cgf5497v OPINI KITA
Follow IG: @opini.kita
Like FP: OPINI KITA - Red Campus Cyber Troops

0 komentar: